Ngarai


Judul: Ngarai
Penulis: Harris Effendi Thahar
Diterbitkan: harian Kompas, 10 November 1991. Dimuat dalam buku Kado Istimewa, Cerpen Pilihan Kompas 1992, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Juni 1992.

***

Walau kedatangan Nita saat itu tak pernah diharapkan ayahnya, namun tentu saja merupakan kejutan yang menggembirakan. Lagi pula ayahnya tak pernah mengirim surat padanya bahwa ia sakit. Ayahnya merasa, sakitnya hanya demam biasa, terlalu lelah dan butuh istirahat yang cukup.

“Kau tidak bawa anak-anakmu?”

“Tidak ayah. Saya sendiri. Saya dengar kabar dari Erni, tetangga kita yang sekarang menjadi mahasiswa saya. Katanya Ayah ikut gotong-royong manunggal. Betul?”

“Sedikit. Asal menampakkan muka saja. Malulah Ayah, kalau mereka tidak melihat wajah ketua RW-nya.”

“Ya, tapi Ayah sudah tua. Belum pensiun hanya karena guru saja. Coba kalau pegawai negeri  biasa, Ayah sekarang tentu sudah dianggap manula, pensiunan, begitu.”

Ayah Nita terdiam sambil menatap dan membaca wajah putrinya yang sekarang mungkin disebut sebagai wanita karir dan tinggal di kota propinsi. Ia bangga, Zurnita cantik, lebih cantik dari mendiang ibunya sewaktu muda, terpelajar, bersuamikan laki-laki yang setara dengan pendidikannya. Tetapi dari goresan pelupuk mata Nita, ayahnya seakan-akan membaca mendung. Nita tahu, ayahnya adalah laki-laki yang sangat arif, karena itu ia gugup dan berusaha berhelah.

“Putri yang kecil saya titipkan sama tantenya, adik Uda yang tinggal bersama kami di Padang.”

“Umurnya berapa sekarang?”

“Sudah hampir setahun. Tidak menetek lagi Ayah. Kalau Tari tiap pagi diantar papinya ke sekolah sambil berangkat kerja. Pulangnya dijemput sopir kantor papinya. Jadi tidak begitu repot kok.”

“Kamu kembali hari ini kan?”

“Saya harap begitu, Ayah.”

“Tapi ini sudah sore. Mana ada bis ke Padang. Oplet yang akan membawamu ke jalan propinsi saja mungkin sudah usai.”

Nita terdiam dan mencoba tersenyum. Kemudian meninggalkan kamar itu dan menuju dapur, melihat kakaknya Sarima memasak sambil bercengkerama dengan putra bungsunya yang baru berusia dua tahun. Walaupun bersuamikan petani dan ia sendiri tak tamat SMA, Sarima juga tahu bahwa Nita datang hari itu jauh-jauh ke kampung pasti bukan menjenguk ayahnya yang sakit. Oleh karena itu ia langsung saja menembak Nita.

“Kamu bertengkar lagi yang Nita?”

“Bertengkar itu kan biasa.”

“Ya tidak biasa, kenapa kau sampai tega meninggalkan bayimu. Dia kan masih bayi dan belum pernah pisah denganmu bukan?”

“Biasanya sering juga saya tinggal seharian kok. Di samping jadi dosen saya kan juga jadi redaksi koran.”

“Wartawan maksudmu?”

“Bukan. Itu, yang mengasuh ruangan konsultasi. Uni tidak pernah baca nama saya di koran?”

“Di rumah ini aku kan nomor satu repot. Kapan aku dapat membaca koran? Apalagi sejak kacamataku pecah terinjak sepatu ayah tempo hari.”

***

Zurnita meninggalkan Sarima di dapur tanpa harus mempertimbangkan Sarima akan kesal karena dibiarkan bicara sendirian. Nita butuh sendiri. Ia masuk ke kamar ibunya yang selalu dipelihara rapi oleh Sarima. Kamar itu sebenarnya kamar yang kembar dengan kamar depan yang sekarang dipakai ayahnya untuk kamar kerja dan sekaligus kamar tidur. Sejak ibu Nita meninggal lima tahun lalu, kamar itu dibiarkan kosong, kecuali kalau Nita pulang dengan keluarganya, atau saudara laki-lakinya yang merantau jauh di seberang lautan itu pulang bersama istrinya yang bukan orang Minang.

Tanpa mengganti pakaian, Nita menggolekkan tubuhnya di atas ranjang kuno terbuat dari besi itu. Agak tinggi memang, tetapi itu bekas ranjang pengantin mendiang ibunya. Menurut ceritanya, ibu kawin di usia sangat muda, enam belas tahun dengan ayah yang waktu itu berusia dua puluh satu. Jauh beda dengan Nita yang kawin pada usia dua puluh tujuh tahun, dengan Syafri yang waktu itu berusia enam tahun lebih tua. Bedanya lagi, Nita tidak menikah di kampung, tetapi di kantor Urusan Agama dan pestanya di sebuah gedung pertemuan yang besar, yang semua ongkosnya ditanggung keluarga Syafri, tepatnya Drs. Syafri.

Nita tidak menangis walau sebenarnya dia ingin. Bau sprei ranjang ibu mengingatkan Nita sewaktu masih kecil. Bau khas itu entah datang dari kasur atau badan ibu yang harus tak bernama, seperti masa kanak-kanak dulu. Kalau Nita tidak enak badan, ibu akan menidurkannya di ranjang ini. Rasa aman dan nyaman itulah yang membuatnya ingin membayangkan wajah itu kembali dan ia berhasil menetes air mata. Tetapi bayangan wajah ibu hanya sesaat. Cepat saja berganti dengan bayangan ranjangnya di kota yang sebenarnya jauh lebih empuk dan mahal ketimbang ranjang kuno ibu. Tetapi ranjang itu sering membuatnya tidak nyaman bahkan anehnya, sering merasa kepanasan di samping suaminya yang sering tidur lebih awal. Lelaki yang dulu menjadi impiannya siang malam, hampir tujuh tahun lalu, dan kini tiba-tiba berubah menjadi laki-laki tambun yang lebih suka meninggalkan perintah daripada berkata lembut kalaupun tidak merayu-rayu seperti dulu.

Padahal sewaktu Nita sedang di Kanada mengikuti program pertukaran pemuda, kepada lelaki itulah yang paling banyak ia menulis surat, bahkan menelpon sebelum berangkat tidur, ke tanah air. Lelaki itu justru yang memberinya semangat, mendukung kariernya sebagai mahasiswa berprestasi tinggi dan aktivitasnya yang menonjol. Nita memang butuh orang yang mengerti cita-citanya. Kedengarannya memang sederhana, tak sekedar ibu rumah tangga. Tetapi sekarang?

***

“Sekarang, anak-anak mesti jadi tanggung jawabmu yang utama. Karier, jelas nomor dua. Sekarang, kau terima tawaran koran picisan itu untuk menjadi redaktur tamu pengaruh… apa itu? Konsultasi remaja? Seharusnya kau lebih rasional Nita.”

“Anak jelas tanggung jawab kita berdua. Mengapa aku sendiri?”

“Ingat, sekarang aku pegawai eselon, kepala sebuah bagian penting di Kantor Bergonjong (1) itu. Mestinya kau aktif di Darma Wanita. Jadi contoh istri-istri pejabat yang lain dan menjadikan aku lebih bergengsi karena beristrikan wanita terpelajar, pinter, dan berpengalaman luar negeri lagi.”

“Menjadi anak buah istri bossmu yang tak tamat SMA itu? Lantas gengsimu naik sementara harga diriku diinjak-injak oleh ketua Darma Wanita kantormu yang judes itu? Sok tahu segala itu? Nggak usah ya. Itu justru tidak logis. Aku ini dosen. Aku justru menyiapkan generasi Indonesia masa depan.”

Pertengkaran seperti itu semakin sering dan membuat Nita merasa tak berharga di rumah tangganya, di mata suaminya. Bagi suaminya, jabatan dan penghasilannya (Nita sendiri tak pernah ingin tahu dari mana uang yang bukan berasal dari gaji itu) sudah pantas disyukuri Nita. Karena itu Nita tak perlu kerja keras. Mengapa harus repot-repot menjajakan ijazah sarjana ke koran-koran segala?

Malam itu, sehabis bersoal jawab dengan suaminya, Nita mengetik makalah sampai pagi, sampai tuntas untuk bahan seminar tentang peranan generasi muda dalam memajukan budaya bangsa seminggu lagi. Esok harinya Nita bolos mengajar. Seharian tidur-tiduran dengan Tari putrinya. Nita puas walau capai, karena dengan bertengkar semalam dengan Syafri suaminya, ia berhasil mengambil hikmahnya. Menyiapkan makalah seminar dan tinggal menunggu panitia menjemput naskahnya untuk diperbanyak.

Zurnita masih mengingatnya selalu ketika wartawan surat kabar yang mewawancarainya itu langsung memintanya untuk mengasuh rubrik konsultasi remaja sehabis seminar. Wartawan yang hangat dan berwawasan luas itu bernama Rus. Esoknya wajah Nita terpampang di koran itu dengan sejemput ulasan tentang makalahnya. Tetapi Syafri suaminya malah menanggapinya dengan wajah sinis, jangankan memberikan pujian. Namun Nita sudah menduga dan siap menerimanya. Bagi Nita, orang lain jauh lebih tahu menghargai dirinya. Bagi Nita tawaran untuk menjadi pengasuh rubrik itu bagaikan nafas kehidupan baru setelah tersenggal-senggal dihimpit tangga dan rumah yang dibikinnya berdua dengan Syafri.

“Sekarang kau hamil Nita. Kumohon kau mengurangi kegiatanmu.”

Nita tidak menjawab, menerawang angan untuk mengatur pertemuannya dengan teman-teman di kantor redaksi. Hari ini mestinya dia ke sana untuk beberapa jam menyiapkan bahan-bahan surat yang ditujukan pada oengasuh rubrik itu.

***

Manik-manik keringat membasahi jidat Nita yang tertidur bagaikan bocah di kamar mendiang ibunya. Lambat-lambat ayahnya yang masih sempoyongan itu mengusap keringat Nita dengan handuk kecil. Nita mendengkur kecil, pertanda tidunyra pulas. Ayahnya mencium kening yang sedikit mengerut itu, mungkin sedang bermimpi. Kemudian memandang wajah Nita agak lama, sementara matahari mulai turun, pertanda malam akan segera tiba. Tak biasanya Nita pulang sendirian kalaupun dengan alasan menjenguk ayahnya sakit. Ini mungkin pertengkaran serius, pikir ayahnya yang termangu di depan jendela kamar itu. Tiba-tiba ayahnya tersentak oleh pikirannya sendiri bahwa Nita hari ini genap tiga puluh tiga tahun. Sekali lagi diciumnya kening Nita. Mungkin agak lama, hingga Nita terbangun. Agak terkejut memang, mencari-cari, wajah siapa yang begitu dekat dengan wajahnya.

“Selamat ulang tahun Nita…” ucapan itu membuat Nita terlonjak dan langsung merangkul ayahnya. Ayah dan anak itu saling melepaskan perasaannya, dibumbui dengan tetes-tetes aur mata sebagai pelengkap.

Sebenarnya dalam tidurnya Nita betul-betul bermimpi. Nita bermimpi bertemu Rus dengan muka penuh luka, tetapi tertawa-tawa seperti tak merasa apa-apa. Nita ingin membasuh luka itu, tetapi Rus mencegahnya hingga Nita kecewa.

“Jangan, terima kasih atas perhatianmu.”

Nita mundur dan hampir menangis memikirkannya. Padahal selama ini Rus akrab dengannya. Nita pernah beberapa kali ditelepon Rus, dijemput ke kampus lalu pergi bersama, sekitar pukul sepuluh menyaksikan film yang akan diresensi dan dinilai oleh badan sensor film daerah. Biasanya habis itu berdiskusi, makan siang di kantor redaksi dengan nasi rantangan. Dan dalam setiap diskusi, Rus selalu memuji pikiran-pikirannya. Dan Rus yang punya istri pegawai bank itu sering dijumpai Nita sedang melatih anak bungsunya menggambar di kantor redaksi sehabis jam sekolahnya di sebuah TK. Maksud Rus, agar putrinya itu asyik bekerja dan tidak mengganggu. Diam-diam Nita mengagumi Rus. Karena itu sesekali Nita mengajak Tari ke kantor redaksi, bermain dengan putri Rus. Mereka seperti saudara kembar, akrab sekali menggambar dengan kertas dan spidol warna-warni.

Sebenarnya, sebelum berangkat ke kampungnya, Nita hanya bermaksud ke kantor redaksi. Ia ingin jumpa Rus dan berharap Rus akan memberinya surprise sehubungan dengan hari ulang tahunnya. Mungkin karena di rumah, tadi pagi suaminya hanya bilang akan terlambat pulang karena banyak pekerjaan, Nita butuh orang lain yang mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi Rus tidak ada di tempat. Menurut rekannya, Rus ke pusat pemutaran film badan sensor. Nita kecewa, lalu menulis surat pendek dan meletakkannya di bawah kaca alas meja Rus. “Rus, aku pulang kampung. Ayahku sakit.

Walaupun tidak pakai tanda tangan dan inisial nama, Rus tahu bahwa itu tulisan Nita. Bahkan Rus tahu bahwa sobekan kertas itu berasal dari buku agenda Nita, karena agenda itu hadiah Rus sewaktu hari ulang tahun Nita tahun lalu.

***

Sore itu Syafri dan putrinya Tari datang ke kantor redaksi mencari Nita. Tari langsung saja menemui Rus.

“Om Rus, mama Tari ada di sini?”

“Oh, tidak Tari. Dengan siapa ke sini?”

“Dengan papi. Tuh,” ujar Tari sambil menunjuk ke perut papinya yang kelihatan sesak nafas menaiki tangga lantai dua itu.

“Maaf mengganggu. Kenalkan, saya suami Nita.”

Selama ini Rus tidak pernah berjumpa Syafri dan tidak pernah ingin berkenalan. Saat itu Syafri berada di hadapannya sambil berbasa-basi. Tetapi Rus cepat memberi tahu bahwa Nita menitip surat sepeninggalnya sewaktu menyerahkan naskah rubrik konsultasi. Dan tampaknya Syafri cukup lega karena sudah merasa aman kalau Nita pulang ke kampungnya di kaki gunung Singgalang itu.

“Tari, mamamu pulang kampung. Kakek Tari sakit. Mendadak ngkali.”

Syafri meyakinkan putrinya dan dirinya. “Permisi kami pulang dulu. Besok-besok juga kembali. Atau kalau sampai Sabtu, saya jemput sambil berlibur,” ujar Syafri pada Rus. Rus mengangguk sopan dan mengerdip Tari. Karena itu Tari jadi penasaran dan bertanya: “Dita tidak diajak ke sini Om?”

“Tidak Tari. Dita di rumah bersama mamanya. Lain kali main ke rumah Om ya?” tawar Rus. Tari mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu bersama papanya.

Semakin jelas bagi Rus, bagaimana Nita sering cekcok dengan suaminya. Tetapi pun Rus bercermin pada dirinya yang sudah lama mendapat perlakuan dingin dari istrinya. Bagi istri Rus, siapa yang paling banyak menghasilkan uang, itulah yang berhak menjadi kepala rumah keluarga. Karena itu resikonya, Rus harus membenahi anak-anak yang tiga orang itu di samping membenahi pekerjaannya di kantor redaksi dengan gaji kecil. Dan Rus memilih anjuran istrinya sehingga ketiga anaknya lebih akrab dengannya ketimbang dengan ibunya. Sedangkan istri Rus dari pagi hingga setengah lima sore non stop di kantornya.

***

“Kok kamu nekat ke sini Rus?” tanya Nita.

“Nggak ah. Aku memang punya jadual sejak kemarin untuk meliput keruntuhan Ngarai Sianok. Lalu surat yang kau titipkan di bawah kaca mejaku itu membuat aku ingin jumpa kau di sini. Sambil ke Ngarai Sianok, lihat teman kan?”

“Bareng terjun ke ngarai yuk,” kelakar Nita.

“Yuk,”

Tetapi kemudian wajah Nita memerah karena sadar percakapan itu mungkin didengar ayahnya di kamar depan ruang tamu itu.

“Kamu masih juga bercanda. Tari dan papanya kemarin mencarimu ke kantor.”

“Kalau mereka butuh aku dan tahu ayahku sakit, mestinya hari ini kan mereka datang ke sini.”

“Memang, tapi bukan sekarang. Suamimu bilang mungkin Sabtu sekalian libur.”

“Tapi siang ini aku harus kembali. Esok pagi aku ngajar Rus.”

“Kalau begitu, siap saja sekarang. Kita berangkat; oke?”

“Oke!”

Di perjalanan, di atas jeep Rus yang tua menuju kota Bukittinggi mereka lebih banyak diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dan mereka betul-betul menuju panorama pinggiran Ngarai Sianok, tapi tidak jadi melompatinya berdua. Sebab Rus sibuk memilih souvenir untuk Nita, sebagai hadian ulang tahun.

“Selamat ulang tahun, lebih satu hari ya?”

“Oh, terima kasih. Kau tidak lupa Rus?”

Langkah-langkah yang berasal dari rombongan bersepatu membuat mereka tersentak. Rombongan gubernur sedang memasuki taman pinggir ngarai itu sambil meninjau bagian yang longsor seperti yang diberitakan koran-koran dan radio. Naluri kewartawanan Rus membuatnya cepat-cepat mengambil tustel dari dalam tasnya dan membidik, ciprot, cipret! Sedangkan Nita terlibat pandang memandang dengan Syafri yang berada di dalam rombongan resmi itu tanpa dapat berkata-kata.

Padang, Jan-April, 1991

(1) Kantor Gubernur

~ oleh Leo Juliawan pada 18 Januari 2009.

Satu Tanggapan to “Ngarai”

  1. Salam, saya mendapat tugas untuk menganalisa cerpen ini. Saya memiliki beberapa pertanyaan. Pertama, mengapa cerpen ini diberi judul “Ngarai”? Kedua, bagaimana cerpen tersebut bisa melukiskan keadaan sosial-budaya masyarakat Indonesia?
    Terima kasih

Tinggalkan komentar